Pasien mati, dihukum. Maukah orang-orang jadi dokter?

Kasus dr Ayu dan tim vs MA dan keluarga pasien menjadi perhatian besar dari masyarakat dan media. Bagaimana tidak? Banyak tuduhan yang menyatakan malpraktik yang mengakibatkan pasien meninggal.

Sebenarnya bagimana kronologinya? Nih dikutip dari Vivanews.com

Berikut pemaparan versi Kementerian
Kesehatan dan Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia (POGI) .
Ketua POGI Jakarta, Frizar Irmansyah, mengatakan
kematian Siska 20 menit setelah operasi caesar
bukan kejadian malapraktik, melainkan insiden
medis yang tak dapat dicegah dan berakibat fatal.
Siska awalnya mendatangi puskesmas. Di
puskesmas, dilakukan pemeriksaan ketuban untuk
mempercepat kelahiran bayinya. Standar
operasional prosedur menyatakan, kelahiran harus
diupayakan normal. Kondisi Siska di puskesmas
terus dimonitor sampai akhirnya muncul tanda
kegawatan di mana bayi bisa meninggal jika tidak
juga dilahirkan.
Puskesmas pun memberitahu Siska perlu ada
tindakan operasi untuk menyelamatkan dia dan
bayinya. Oleh sebab itu diputuskan Siska dirujuk
ke RS Prof dr Kandou untuk ditangani lebih lanjut.
Di rumah sakit itu, dokter mengambil tindakan 8
jam kemudian, setelah tahu ada gawat janin pada
kandungan Siska. “Selama 8 jam itu, pasien
bukannya ditelantarkan, tapi ditunggu untuk
melahirkan secara normal,” kata Frizar.
Selanjutnya saat operasi caesar berlangsung,
terjadi insiden emboli – ketuban melebar, udara
masuk ke pembuluh darah dan lari ke paru-paru,
mengakibatkan pembuluh darah pecah. Aliran
darah pun tersumbat seketika karena air ketuban
masuk ke dalam pembuluh darah. Saat itu Siska
langsung terserang sesak nafas hebat.
Menghadapi hal ini, dokter Ayu dan timnya segera
mengambil tindakan. Suntikan steroid diberikan
untuk menanggulangi peradangan. Mereka juga
berupaya mempertahankan oksigenisasi dengan
memasang alat bantu yang disebut ventilator.
Sayangnya nyawa pasien tidak tertolong. Meski
demikian bayi lahir dengan sehat.
Frizar menyatakan, kemungkinan terjadinya
emboli pada ibu melahirkan hanya 3 persen,
namun kesembuhannya hanya 10 persen. “Itu
pun di luar negeri yang berhasil sembuh. Di
Indonesia, setahu saya belum ada yang bisa
selamat dari emboli,” kata dia. Emboli bisa terjadi
pada ibu yang melahirkan secara caesar maupun
normal.
Frizar mengatakan, dokter Ayu memang belum
berstatus dokter spesialis saat menangani
persalinan Siska. Ia hanya residen senior dengan
pendidikan dokter spesialis kebidanan dan
kandungan. Tapi praktiknya sudah melalui ujian-
ujian tertentu dan bukannya tanpa wewenang.
Sementara berikut rincian kesalahan dokter Ayu
seperti tertera di putusan Mahkamah Agung:
Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry
Simanjuntak, dan dr Hendy Siagian, baik secara
bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri,
telah dengan sengaja melakukan, menyuruh
melakukan, dan turut serta melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP).
Perbuatan tersebut dilakukan para terdakwa
dengan cara dan uraian kejadian sebagai berikut:
Saat korban Siska Makatey (Julia Faransiska
Makatey) sudah tidur terlentang di atas meja
operasi, dilakukan tindakan asepsi antiseptis pada
dinding perut dan sekitarnya. Selanjutnya korban
ditutup dengan kain operasi kecuali pada
lapangan operasi. Saat itu korban telah dibius
total.
Dr Ayu mengiris dinding perut lapis demi lapis
sampai pada rahim milik korban, kemudian bayi
yang berada di dalam rahim korban diangkat.
Rahim korban lalu dijahit sampai tidak terdapat
pendarahan lagi dan dibersihkan dari bekuan
darah. Selanjutnya dinding perut milik korban
dijahit.
Saat operasi dilakukan, dr Hendry sebagai asisten
operator I dan dr Hendy sebagai asisten operator II
membantu dr Ayu sebagai pelaksana operasi. Dr
Hendry dan dr Hendy yang memotong,
menggunting, dan menjahit agar lapangan operasi
bisa terlihat, supaya mempermudah operator yaitu
dr Ayu dalam melakukan operasi.
Sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap
korban dilakukan, para terdakwa tidak melakukan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
jantung, foto rontgen dada, dan lain-lain.
Sedangkan tekanan darah sebelum korban
dianastesi atau dilakukan pembiusan sedikit tinggi,
yaitu menunjukkan angka 160/70.
Pemeriksaan jantung terhadap korban
dilaksanakan setelah operasi selesai dilakukan.
Pemeriksaan jantung terhadap korban
dilaksanakan setelah operasi selesai. Pemeriksaan
jantung tersebut dilakukan setelah dr Ayu
melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw
sebagai konsultan jaga bagian kebidanan dan
penyakit kandungan bahwa nadi korban 180 kali
per menit.
Saat itu saksi Najoan menanyakan kepada dr Ayu
apakah telah dilakukan pemeriksaan jantung
terhadap diri korban. Selanjutnya dijawab oleh dr
Ayu tentang hasil pemeriksaan adalah denyut
jantung sangat cepat. Saksi Najoan mengatakan
bahwa denyut nadi 180 kali per menit – bukan
denyut jantung sangat cepat tetapi fibrilasi atau
kelainan irama jantung.
Berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 yang
telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion
Kristanto, SH. Sp. F bahwa saat korban masuk RSU
Prof RD Kandou Manado, keadaan umum korban
adalah lemah dan status penyakit korban adalah
berat.
Dr Ayu, dr Hendry, dan dr Hendy sebagai dokter
dalam melaksanakan operasi cito secsio sesaria
terhadap korban Siska Makatey, hanya memiliki
sertifikat kompetensi. Tapi para terdakwa tidak
mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) kedokteran/
yang berhak memberikan persetujuan. Sedangkan
untuk melakukan tindakan praktik kedokteran,
termasuk operasi cito yang dilakukan para
terdakwa terhadap diri korban, para terdakwa
harus memiliki SIP kedokteran.
Akibat perbuatan para terdakwa, korban Siska
Makatey meninggal dunia. Sebab kematian korban
adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik
kanan jantung yang menghambat darah masuk ke
paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru,
dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi
jantung.

Nah, dalam hal ini. Memang sulit menentukan siapa yang benar dan salah. Hukum Indonesia tidak bisa ditebak. Akibat kasus ini, dokter di Indonesia banyak yang mogok kerja.

Hal ini dikecam keluarga korban, walah. Makin rumit,kang. Nah, ada pernyataan dari Menteri Kesehatan.

“Saya khawatir jika nanti dalam setiap
kasus kematian dokternya dihukum,
maka siapa yang mau jadi dokter?” ujar
Nafsiah.

Nah,loh. Simalakama’kan? Kematian memang menjadi momok yang buruk bagi dunia kedokteran. Tapi, mau bagaimana lagi kalo udah takdir. Dan itu yang tidak dipahami sebagian besar masyarakat. Dokter memang manusia biasa, makan dan minum? Mereka cuma menuntut manusiawi saja. Kayak image di bawah ini,

Ni buat kemaren kang, kemaren kan demo’nya. Baru upload sekarang, hehe.

Miris ya, biaya mahal. Sekali demo, banyak yang mengecam. Kalo buruh, demo dibiarkan. Dokter dan perawat itu jasanya gede loh(yang benar-benar melaksanakan profesinya). tapi, sehebat-hebatnya mereka tetap manusia.

Jadi, jangan selamanya menjudge dokter bila ada salah? Itu karena mereka juga manusia. Kadang bisa mengobati orang lain tapi belum tentu bisa mengobati diri sendiri.

#salam ndeso Bojonegoro.

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Bro Ndes 94

Seseorang yang mempunayi hobi menulis, membaca, dan mencari ilmu baru. Tak ada paksaan dalam menulis, karena menulis itu seperti mengalir. Jika terbiasa maka kita akan kecanduan. #Poko'e_Joget#

6 tanggapan untuk “Pasien mati, dihukum. Maukah orang-orang jadi dokter?”

  1. tapi sekarang masuk ke jurusan kedokteran gampang banget lho…asal punya duit banyak org bodohpun bisa jadi dokter….

    Suka

Tinggalkan Balasan ke wongndeso94 Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.